Muncak Pertama Muncak Terakhir #2

muncak barengMuncak pertama sekaligus muncak terakhir, kata-kata Mumun tadi siang ketika tiba di Puncak Abiyoso Gunung Muria ini seketika menyeruak dalam hatiku tatkala melihat keributan yang terjadi di tenda putri.

Apalagi melihat Acing yang tadinya tiduran dengan matrasnya di dekat tenda itu langsung meloncat ke dalam tenda. Saya yang tengah asyik mengobrol dengan beberapa teman ikut menghambur ke dalam tenda.

Sebagaimana yang sempat aku khawatirkan, Mumun tergeletak dikerumuni beberapa teman perempuannya. Acing satu-satunya cowok yang ada di situ tengah memegang pergelangan tangan Mumun. Memeriksa denyut nadinya. Sementara Mumun sendiri tampak terpejam menahan kesakitan dengan nafas yang berat dan tersengal-sengal.

Mulut yang terbuka lebar, tarikan nafas yang panjang dan berat disertai bunyi erangan cukup memberitahuku bahwa ada yang tidak beres dengan nafasnya. Karenanya langsung kuisyratkan agar orang-orang yang tidak berkompeten untuk segera keluar tenda. Kini tinggal saya, Acing, Dwi Rahayu, Wulan dan Lis Jelman yang masih menunggui Mumun. Teman-teman yang lain pasti berkerumun di luar tenda. Dalam kebingungan seperti halnya saya.

Tak ada kata-kata yang terucap dari mulut kami. Ketika kuarahkan pandang kepada Dwi, orangnya hanya mengangkat kedua bahunya. Hanya Lis Jelman yang tampak semakin resah saling beradu pandang dengan Wulan. Kedua teman Mumun ini seakan hendak mengucapkan sesuatu. Kutatap lekat-lekat Lis yang tepat berada di samping kananku. Mata kami beradu hingga dia beralih sejenak melirik Wulan. Untuk kedua kalinya mata kami bertatapan.

“Katakan!”

“Mumun…” ucapnya ragu-ragu. “Mumun pernah menderita asma.”

“Asma?!!.”

Edan. Pengidap asma diajak mendaki gunung. Medan yang melelahkan dan menguras tenaga berpadu dengan udara dingin dan kadar oksigen yang tipis. Kombinasi yang sangat fantastik.

Kegiatan pendakian yang tanpa perencanaan dan persiapan yang matang ini berimbas pada seleksi peserta yang asal-asalan. Tanpa riwayat medis peserta, P3K-pun hanyalah membawa sebotol minyak kayu putih, obat merah dan kain kasa sisa kegiatan yang telah lalu. Sedangkan kami berada di puncak sebuah gunung yang berjarak tidak kurang dari 3 jam perjalan melalui medan ekstrim. Ditambah lagi dengan hari yang mulai malam. Kembali kalimat Mumun berputar-putar dalam kepalaku; muncak pertama dan terakhir.

Mumun semakin terlihat kepayahan. Nafasnya semakin berat. Tangannyapun semakin terasa dingin.

“Coba kamu salurkan tenaga dalam kamu”, ucapku.

“Kamu pikir sedari tadi apa yang kulakukan?”

Oh.. Maklum saja orang awam seperti saya tidak mengerti tentang tenaga dalam sama sekali. Meski kadang melihat Acing beraksi, namun saya tidak pernah dapat memahaminya. Entahlah, aku terlalu pusing dengan keadaan Mumun.

Aku menyuruh menambah selimut Mumun dan menugasi seorang teman untuk memasak air. Dengan air panas dalam botol kucoba menghangatkan tubuh Mumun. Aku sendiri gak yakin apakah itu akan memberikan efek yang signifikan atau enggak. Namun berangsung nafas Mumun mulai normal. Walaupun matanya masih tetap terpejam, tidak sadarkan diri.

Lalu seorang pria masuk ke dalam tenda kami. Sepertinya ia adalah salah satu peziarah yang mendirikan tenda di sebelah atas tenda kami. Setelah berbicara dengan Acing, mereka mendudukkan Mumun dan persis seperti dalam film-film kungfu dia bersila di belakang tubuh Mumun dan meletakkan kedua tangannya di punggung Mumun. Tak lama kemudian Mumunpun siuman.

Aku mulai kembali tenang. Mumunpun sudah mulai bisa menebarkan senyum tipisnya yang manis sekali. Jauh lebih manis dari yang pernah aku lihat sebelumnya. Namun belum puas aku merasakan ketenangan, hujan turun dengan derasnya. Beberapa teman yang semula di luar masuk ke dalam tenda. Dan kejadian yang serupa terjadi untuk kedua kalinya. Mumun kembali kumat.

Kami semakin panik. Tenda tidak mampu menahan derasnya hujan. Kamipun sepakat untuk membawa Mumun mengungsi dari tenda itu ke aula makam Eyang Abiyoso. Beberapa teman menggotong tubuh Mumun yang tak sadarkan diri sedangkan beberapa lagi memayungi tubuhnya dengan jas hujan dan selembar matras.

Setelah setengah berlarian di bawah guyuran hujan dan melalui jalanan becek yang gelap gulita sampailah kami di aula. Tanpa mempedulikan kaki yang penuh lumpur kami usung tubuh Mumun menuju sudut aula yang diterangi sinar lampu petromak. Tidak sekali dua kali terdengar orang berteriak karena anggota tubuhnya terinjak oleh rombongan kami. Ternyata di dalam aula yang gelap tersebut tidak sedikit peziarah yang beristirahat sambil tiduran.

Dan ternyata (lagi) seisi aula tersebut merupakan ahli spiritual maupun pengobatan alternatif. Mengetahui kondisi teman kami, beberapa di antaranya segera membantu. Ada yang mencoba dengan melakukan pijit refleksi, penyaluran tenaga dalam dan beberapa lagi dengan trik-trik yang aneh dan lucu. Tak lama kemudian, Mumun mulai sadar.

Aku hanya mampu menggigil di pojok aula, tanpa jaket bahkan dengan kaos yang sebagian basah. Beberapa teman saya yang lain juga dalam kondisi yang tidak berbeda. Kulirik jam tanganku. Jam 11 malam.

Dan malam itu saya dan teman-teman lainnya pun terjaga hingga pagi. Bersama menjaga Mumun yang kadang masih merasa sesak nafas kembali. Bahkan Wulan dan Lis Jelman, kedua teman Mumun, sempat pingsan juga karena masuk angin.

Meski terasa amat panjang sekali, malampun berganti dengan pagi. Kelegaan terbit dalam hatiku bersamaan dengan rasa bingung. Bagaimana caranya mengajak ketiga teman perempuan kami itu turun ke Rahtawu, desa terdekat. Diminta berjalan kaki jelas sangat berisiko. Di tandupun tidak akan mudah melalui medan yang memiliki tanjakan dan turunan yang amat curam. Melebihi 60 derajat. Sedangkan kanan kiri jalan setapak tersebut adalah jurang yang dalam.

Entah siapa yang menemukan ide tersebut. Yang pasti kami sepakat untuk turun gunung dengan melakukan pengawalan ketat kepada ketiga teman perempuan kami. Mereka bertiga masing-masing kami pasangi tali pada pinggangnya yang kedua ujungnya kami ikatkan pada dua orang yang berada di belakangnya. Sedangkan seorang lagi membantu menuntun dari depan. Meski perjalanan memakan waktu yang lamanya berlipat ganda dan menjadi tontonan setiap orang selama perjalanan. Namun yang terpenting kami selamat menuruni puncak Abiyoso gunung Muria.

Cukuplah ini menjadi pengingat bagi saya dan semua penggiat kegiatan alam bebas untuk melakukan persiapan yang matang dalam setiap pendakian gunung yang dilakukan. Agar tidak terjadi muncak pertama sekaligus muncak terakhir. (Tamat)

Baca juga:

Anda dapat melihat daftar seluruh tulisan di: Daftar catatan

Tentang alamendah

Panggil saja saya Alamendah, tinggal di Pati, Jawa Tengah, Indonesia. Seorang biasa yang ingin berbagi dengan sobat.
Pos ini dipublikasikan di ekspedisi, hobi, kegiatan alam bebas, muria dan tag , , , , , , , , , . Tandai permalink.

102 Balasan ke Muncak Pertama Muncak Terakhir #2

  1. UchiE berkata:

    Kali lain bawa tim medis dunk, Mas.. 😉

    • alamendah berkata:

      @Pakde Cholil: Setiap orang mempunyai hobi sendiri-sendiri, Pakde.

      @Artha: Pembelajaran yang berharga buat saya. Moga buat yang lain juga.

      @Huang: Maaf, fotonya emang kurang jelas. Maklum amatiran.

      @rizky: Jangan nyindir, ah…

      @julie: Udara yang dingin, kadar oksiogen yang tipis dan faktor kelelahan. Katanya bahaya buat asma.

      @anny: Selain kejadian itu, semuanya berlangsung dengan happy n fun.

      @raomianah: Yup. Puncak gunung merupakan daerah dengan kondisi ekstrim dan fasilitas sangat minim. Dengan kondisi prima aja sudah berat apalagi dengan kondisi tidak fit.

      @edda; iklan, nih…

      @Yep: yup, akhirnya ceritanya kelar juga

      @UchiE: Wah, mana mampu nyewa tim medis orang macam saya ini?

  2. and1k berkata:

    wah jadi pengen nih ke puncak ama temen temen.

    salam kenal

  3. isti berkata:

    indahnya petualangan bersama teman..mungkin saat-saat seperti itu tidak pernah kumiliki 😦

  4. suzhu berkata:

    asik banget…oiya kamu gag ketemu belahan jiwa ya?! kan asik ntu klo gitu. hihihi

  5. BaNi MusTajaB berkata:

    Pengalaman adalah guru yang paling bijak. Kisah di atas tentu sangat berharga bagi para pecinta alam.Mengingatkan kita untuk selalu memersiapkan diri secara matang sebelum mendaki. oke salut.

  6. Teruslah berpetualang bang…

  7. elmoudy berkata:

    menegangkan… penuh petualangan.. bikin jantung deg degan… nafas tersengal sengal.. walaah. kok malahjadi ikutan asmaa

    kasian juga mumun..hikss. pengalaman yg gak enak tuk diulang

  8. faLdy berkata:

    kang kang. maaf OOT..
    tukeran link yuk..
    udah di pajang kq.. :G

  9. widdy berkata:

    kok masih muncak bro?
    mana yang baru nech?

  10. fandhie berkata:

    untung deh bisa balik semua dgn selamat..
    emang gawat yah klo asama naek2 gunung

  11. indra1082 berkata:

    Menuju puncak ………….

    Komenku ada dipuncak apa di kaki gunung nih ?? 😀

    Salam KBM

  12. KangBoed berkata:

    SALAM CINTA DAMAI DAN KASIH SAYANG ‘TUK SAHABATKU TERSAYANG

    I LOVE YOU FUUUULLLLLLLLLLLLLLLLLLLL

  13. masmpep berkata:

    saya selalau mengapresiasi pendaki dari klub pecinta alam ketimbang pendaki amatir yang bercelana pendek dan bersandal jepit. kawan-kawan PA merencanakan pendakian dengan teliti. kecelakaan akibat kelalaian adalah kebodohan yang tak perlu.

    sayang, belum satu bukit pun yang pernah saya daki.

    salam,
    mpep

  14. cow berkata:

    moving together sangat efektif guna mengurangi resiko pendakian semangat selalu mendaki gunung hanya membuat kapok ketika menaikinya…..

  15. perigitua berkata:

    Apa kabar sobatku sayang…???
    malem2 gini jalan2 mengunjungi rumah teman.. sapa tau ada kopi nyang dihidangkan 🙂 silahkan dikeluarkan kupinya…
    cu..

Tulis Komentar Sobat

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.